Jumat, 26 Desember 2008

Harga Rendah Tak Berarti Murah

"Saham apa yang sekarang murah?" begitu pertanyaan yang kerap muncul dari kalangan awam ketika mereka membahas soal pasar saham. Pertanyaan ini tampak sederhana, tapi untuk menjawabnya bukanlah perkara gampang. Apalagi konsekuensi dari jawaban pertanyaan semacam ini akan mempengaruhi keputusan investasi seseorang dalam belanja saham.

Pertanyaan semacam ini kadang-kadang menimbulkan kerancuan, termasuk di sebagian investor yang notabene-nya setiap hari berkutat jual beli saham. Tapi begitulah fakta yang ada di lapangan. Tidak sedikit pelaku pasar - terutama investor individu - yang menyamaartikan antara harga saham yang rendah dengan harga saham yang murah.

Terminologi harga rendah dan harga murah adalah satu hal berbeda. Secara objektif, dari sudut pandang manapun saham yang harganya rendah tidak berarti saham itu murah. Pun sebaliknya, saham yang harganya dibilang murah belum tentu di pasar rendah. Bisa-bisa saham yang dibilang murah, tapi tidak terjangkau oleh investor ritel.

Banyak contoh di pasar yang bisa dipakai untuk menjelaskan dua konsep berbeda yang sering salah kaprah ini. Harga saham emiten yang sudah mentok di batas terbawah, yakni Rp50 misalnya, selintas menunjukkan bahwa harga saham itu murah. Padahal yang benar adalah harga saham itu rendah, bukan murah. Makanya, bisa dimaklumi kendati cukup banyak emiten yang harga sahamnya sudah mentok di Rp50, tapi tidak menarik investor untuk membelinya. Ini karena investor beranggapan, harga Rp50 bukan harga yang murah. Sampai kini ada sekitar 30-an emiten yang harga sahamnya masih stagnan di Rp50.

Contoh lain bisa dilihat pada saham-saham perusahaan yang dinilai blue chips. Banyak analis maupun pengamat pasar yang menyebutkan saat ini harga saham beberapa emiten pertambangan yang dikenal sebagai saham blue chips harganya cukup murah, tapi mengapa banyak investor - terutama ritel -- yang tak kuasa untuk membelinya. Salah satu penyebabnya harga sahamnya tinggi.

Untuk lebih jelas tentang perbedaan terminologi harga saham rendah dan harga saham murah, berikut ilustrasinya. PT ABC Tbk dan PT XYZ Tbk, keduanya adalah perusahaan yang bergerak di sektor yang sama, memiliki asset yang sama, modal disetor yang sama, memiliki utang yang sama, pendapatan dan laba bersih yang sama. Pendek kata, dua perusahaan ini memiliki kemiripan satu dengan yang lain. Satu-satunya hal yang berbeda adalah nilai nominal saham dan jumlah saham beredar.

Taruhlah kedua perusahaan itu memiliki modal disetor yang sama Rp100 miliar. Tapi nilai nominal saham PT ABC Tbk ditetapkan Rp1.000. Itu berarti total jumlah saham PT ABC Tbk mencapai 100 juta lembar. Sedangkan PT XYZ Tbk berpendapat nilai nominal tidak perlu besar, cukup Rp100 per saham. Itu berarti jumlah saham PT XYZ Tbk mencapai 1 miliar lembar.

Kita asumsikan harga saham di pasar sama dengan harga nilai nominalnya. Dari ilustrasi sederhana ini saja bisa dilihat satu (1) lembar saham PT ABC Tbk sama dengan sepuluh (10) lembar saham PT XYZ Tbk. Jika ditanya, mana lebih murah untuk satu (1) lembar saham PT ABC Tbk yang dijual di harga Rp1.000 dengan satu (1) lembar saham PT XYZ Tbk yang dijual di Rp100.

Jika hanya melihat dari sisi harga (tanpa membandingkan jumlah saham kedua perusahaan) maka akan menjawab saham PT XYZ Tbk lebih murah. Padahal sebenarnya tidak. Secara objektif kedua perusahaan memiliki kondisi fundamental yang sama.

Karena itu, dalam melakukan penilaian terhadap satu saham Anda tidak cukup hanya melihat dari sisi harga semata. Simaklah fundamentalnya secara detil, juga satuan analisa per saham. Istilah seperti price earning ratio (PER), earning per share (EPS) merupakan satuan analisa yang mengacu pada satu satuan saham. Kembali pada ilustrasi di atas, jika PT ABC Tbk maupun PT XYZ Tbk berhasil mencetak laba bersih Rp10 miliar, maka untuk PT ABC Tbk laba bersih per sahamnya Rp100. Tapi dari kacamata PT XYZ Tbk, laba bersih per saham cuma 10 rupiah saja. Namun, perhitungan PER tetap menunjukkan angka yang sama.

Sebagian investor di bursa saham, kadangkala kurang memperhatikan kondisi objektif seperti itu. Mereka hanya melihat harga saham A lebih rendah dari harga saham B dan langsung diterjemahkan harga saham A lebih murah dari saham B. Sikap seperti ini jelas berbahaya karena mengakibatkan investor berbuat salah dalam melakukan keputusan investasi.

Tidak ada komentar:

world market