Senin, 09 Juni 2008

Asing kuasai telekomunikasi, ancaman bagi RI?

Singapura dan Malaysia makin memperkuat cengkeramannya di sektor telekomunikasi Indonesia. Kondisi itu terjadi setelah tiga perusahaan pelayanan seluler terbesar di negeri ini-yang sebagian besar sahamnya dikuasai perusahaan dari kedua negara tersebut-memenangkan tender frekuensi layanan seluler generasi ketiga (3G).

Dengan memenangkan tender tersebut, Singapura dan Malaysia makin menguasai sistem dan kepemilikan telekomunikasi paling mutakhir di Indonesia. "Akibatnya, kedua negara itu bisa menguasai politik, ekonomi, bahkan keamanan dan militer di Indonesia. Ini merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia," tutur seorang pengamat ekonomi-politik, yang enggan disebut namanya, kepada Bisnis belum lama ini.

Bahkan, menurut dia, dengan menguasai sektor telekomunikasi, kedaulatan suatu negara pun dapat dikuasai. "Akibatnya, bangsa tersebut dapat kehilangan harkat, martabat, dan kemandiriannya. Dan ini yang terjadi di Indonesia, sehingga kita tidak dapat menjadi tuan di negeri sendiri."

Tiga perusahaan yang memenangkan tender itu adalah PT Indosat Tbk dengan harga Rp160 miliar, PT Telkomsel Rp218 miliar, dan PT Excelcomindo Pratama Tbk seharga Rp188 miliar. Meski merupakan perusahaan seluler terbesar di negeri ini, sebagian besar saham di tiga perusahaan itu milik perusahaan Singapura dan Malaysia.

Di Indosat, misalnya, Singapura menguasai 41,94% saham lewat Singapore Technologies and Telemedia (STT). Anak perusahaan Temasek Holding (Pte) Ltd. (BUMN Singapura) ini membeli saham Indosat pada Januari 2002 ketika pemerintah melaksanakan program privatisasi BUMN guna menutup defisit APBN.

Dikuasai negara

Singapura juga memiliki 35% saham di Telkomsel melalui Singapore Telecommunications Ltd (SingTel). Padahal, bukankah Indosat dan Telkomsel merupakan BUMN, yang menangani sektor strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak? Karena itu, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 Indosat dan Telkom seharusnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sedangkan Excelcomindo Pratama adalah perusahaan swasta yang sebagian terbesar sahamnya dikuasai oleh Malaysia melalui Indocel Holding Sdn Bhd 56,92% dan Khazanah Nasional Berhad (16,81%). Selain itu, sebesar 15,97% saham Excelcomindo dimiliki oleh PT Telekomindo Primabhakti, 10,14% oleh AIF Indonesia Limited, dan selebihnya dimiliki oleh karyawan dan publik.

Telekomindo Primabhakti, yang didirikan di Indonesia pada 1990, merupakan anak perusahaan Grup Rajawali Corporation. Kelompok usaha ini dimiliki oleh pengusaha Peter Sondakh.

Sedangkan AIF Indonesia Limited didirikan di British Virgin Island pada 1995. Perusahaan ini berada di bawah manajemen AIF Capital Limited, salah satu perusahaan pendanaan swasta di Asia yang bermarkas di Hong Kong,

Kecuali di dua perusahaan itu, Singapura juga memiliki 40% saham di PT Bukaka SingTel Indonesia melalui SingTel. Bukaka SingTel Indonesia adalah anak perusahaan Bukaka Group, milik keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang membangun dan memperbaiki jaringan infrastruktur telekomunikasi di Divisi Regional VII, kawasan timur Indonesia.

Penguasaan sistem dan perusahaan telekomunikasi Indonesia oleh Singapura semakin menyedihkan. Hal ini ditunjukkan oleh sedikitnya tiga keadaan.

Pertama, STT bersama SingTel adalah anak perusahaan BUMN Singapura, yakni Temasek Holding (Pte) Ltd. Kedua, dengan ditetapkannya STT/Indonesian Communication Limited (ICL) sebagai pemenang tender divestasi Indosat, perusahaan tersebut menguasai dan mengontrol bisnis seluler Satelindo dan IM3.

Ketiga, SingTel menguasai 35% saham penyelenggara seluler, yaitu Telkomsel. Dengan demikian, mayoritas industri seluler Indonesia telah dikua-sai oleh Temasek Holding (Pte) Ltd. Artinya, Temasek Holding (Pte) Ltd telah memonopoli bisnis seluler di Indonesia.

Harus dibatalkan

Penjualan saham Indosat itu, menurut mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, harus dibatalkan. "Karena divestasi ini [Indosat] masuk kategori high treason (pengkhianatan tingkat tinggi), maka harus dibatalkan dan siapa yang bertanggung jawab dituntut secara hukum."

Bukan itu saja. Divestasi Indosat mengalihkan monopoli negara Indonesia ke monopoli Singapura. Karena yang terlibat dalam divestasi itu adalah perusahaan negara Singapura, maka divestasi Indosat juga telah memindahkan monopoli dari BUMN Indonesia ke perusahaan negara Singapura.

Pertanyaannya, apakah divestasi BUMN Indonesia menjadi BUMN asing itu bukan merupakan pelanggaran serius terhadap UUD 1945 sekaligus pengkhianatan terhadap bangsa dan negara ini? Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah pelaku pelanggaran konstitusi itu justru lembaga pemerintah sendiri, yaitu Kantor Kementerian Negara BUMN.

Karena itu, wajar bila mantan Kepala Bakin Letjen TNI (Purn) Soedibyo mengatakan penjualan 41,94% saham Indosat kepada Singapura merupakan sebuah bentuk ketidakpedulian terhadap konsep nasional yang bertujuan mewujudkan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan budaya, dan satu kesatuan keamanan nasional yang kokoh dan mantap.

"Penjualan ini [41,94% saham Indosat] juga berarti tidak menghargai perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam mewujudkan Indosat sebagai aset negara yang begitu tinggi harganya," ujarnya saat divestasi Indosat.

Penjualan aset negara tidak hanya terjadi di sektor telekomunikasi. Di sektor pertambangan, termasuk minyak dan gas bumi (migas), juga terjadi dengan masuknya Freeport-McMoRan Copper & Gold di Papua dan ExxonMobil Oil di Blok Cepu.

Kalau demikian kondisinya, bukankah sama artinya dengan kita menjadi budak bangsa asing di negeri sendiri? Hal ini sungguh sangat ironis, bukan!

Tidak ada komentar:

world market